Semesta yang Hilang: Ketika Aku Bukan Lagi Aku
Aria selalu hidup dengan rutinitas yang teratur. Bangun di pagi hari, minum kopi, pergi bekerja, dan menonton serial favoritnya di malam hari. Tetapi pagi ini terasa berbeda sejak pertama kali ia membuka mata. Kamar yang ia tempati terasa lebih luas, dengan dekorasi mewah dan warna-warna yang tidak pernah ia pilih.
Di sudut ruangan, ada cermin besar yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Aria mendekat, mencoba memahami apa yang salah. Saat ia menatap pantulan dirinya, jantungnya terasa berhenti. Wajah di cermin itu…bukan dirinya. Mata itu terlalu besar, rambutnya terlalu lurus, kulitnya lebih cerah. “Ini bukan aku,” bisiknya, panik.
Dengan cepat, Aria berlari keluar dari kamar itu. Di luar, suasana rumah tampak mewah, seolah ia tinggal di rumah orang kaya, padahal dia ingat jelas tinggal di apartemen sederhana. Saat sampai di dapur, seorang wanita yang tidak ia kenal menyambutnya dengan senyum hangat. “Selamat pagi, Sayang,” katanya, seolah mereka sangat dekat.
“Aku… Siapa kamu?” Aria mencoba menahan gemetar suaranya.
Wanita itu tertawa kecil. “Kamu bercanda? Aku ibumu, ya ampun, kamu baik-baik saja?”
Aria melangkah mundur. Ini tidak mungkin. Ibunya yang ia kenal adalah seorang pekerja keras dengan wajah yang penuh lelah, bukan wanita ini—terlihat segar dan anggun.
Sepanjang hari, Aria mencoba memahami dunia baru ini. Setiap orang yang ia temui mengenalnya sebagai Aline, seorang mahasiswi kedokteran di universitas elit. Ia bukan lagi Aria yang sederhana, bekerja sebagai pegawai di toko buku kecil. Dalam semesta ini, semua yang ia tahu tampak berubah: keluarganya kaya, teman-temannya orang-orang berkelas, dan dunianya sempurna—tapi bukan miliknya.
Aria mulai mencari petunjuk tentang bagaimana ini bisa terjadi. Setiap malam, ia mencoba mengingat kembali kehidupannya sebagai Aria. Namun, semakin lama ia tinggal di semesta ini, ingatan-ingatannya mulai memudar. Wajah sahabat lamanya menjadi kabur, detail tentang pekerjaannya di toko buku semakin sulit diingat. Semakin keras ia berusaha mempertahankan ingatan, semakin cepat semuanya menghilang.
Suatu hari, Aria menemukan buku di perpustakaan rumahnya—sebuah jurnal tua dengan halaman kosong. Namun saat ia membuka halaman terakhir, ada sebuah tulisan: “Ketika kau lupa siapa dirimu, semesta ini akan menjadi milikmu.”
Perlahan, Aria mulai bertanya-tanya: apakah ini dunia yang lebih baik untuknya? Apakah ia akan menyerah pada kehidupan yang bukan miliknya, atau ia harus terus berjuang untuk kembali ke dunia yang sudah hilang?
Aria dihadapkan pada pilihan terakhir: menerima kehidupan baru ini dengan segala kemewahannya, atau menemukan jalan pulang ke semesta yang pernah ia tinggali—meskipun itu berarti kehilangan semuanya.